Kids Care Indonesia – Salah satu tantangan mengatasi paling umum yang dihadapi orang tua adalah ketika anak susah makan. Kondisi ini sering kali membuat orang tua khawatir, apalagi jika berat badan anak tidak bertambah atau anak terlihat lesu. Secara medis, anak susah makan berarti anak tidak mendapatkan asupan gizi sesuai kebutuhan usianya. Hal ini dapat berdampak pada pertumbuhan fisik, perkembangan otak, dan daya tahan tubuh.
Masalah ini umumnya dialami oleh anak berusia 1–6 tahun, ketika mereka mulai memilih makanan dan menunjukkan kemandirian terhadap apa yang ingin dimakan. Walau terdengar sepele, jika tidak ditangani dengan tepat, kebiasaan ini bisa berlanjut hingga remaja.
Anak-anak usia balita hingga awal sekolah dasar merupakan kelompok yang paling sering mengalami gangguan pola makan. Berdasarkan laporan dari beberapa pusat kesehatan anak di Indonesia, sekitar 30–40% anak usia dini mengalami fase sulit makan, terutama saat masa pertumbuhan cepat (growth spurt).
Selain faktor usia, kondisi ini juga sering terjadi pada anak-anak yang:
Masalah susah makan sering muncul di rumah — terutama pada waktu sarapan atau makan malam. Banyak orang tua mengeluh bahwa anak mereka mau makan hanya saat di sekolah atau di tempat lain, tetapi tidak di rumah.
Hal ini bisa disebabkan oleh lingkungan makan yang monoton atau suasana makan yang penuh tekanan. Di beberapa kasus, anak menolak makan karena trauma terhadap makanan tertentu, misalnya saat pernah tersedak atau merasakan rasa yang tidak disukai.
Ada banyak alasan mengapa anak menolak makan, dan penting bagi orang tua untuk memahami penyebab utamanya:
Kadang, jadwal makan anak tidak sesuai dengan jam biologisnya. Jika anak baru saja minum susu atau ngemil, wajar jika ia menolak makan berat.
Gadget, televisi, atau mainan bisa membuat perhatian anak teralihkan. Saat fokus mereka terbagi, keinginan untuk makan berkurang.
Beberapa anak menolak makan sebagai bentuk ekspresi diri. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka bisa mengambil keputusan sendiri.
Anak bisa saja tidak suka pada aroma, rasa, atau tekstur tertentu dari makanan, terutama sayuran hijau atau lauk dengan bumbu kuat.
Anak yang sering dimarahi atau dipaksa makan akan mengasosiasikan waktu makan dengan pengalaman negatif, sehingga semakin menolak makanan.
Baca juga: “King of Meat: Petualangan Co-op Penuh Kekacauan“
Berikut beberapa strategi yang terbukti membantu orang tua menghadapi anak yang sulit makan:
Jadikan waktu makan sebagai momen kebersamaan keluarga, bukan tekanan. Duduk bersama di meja makan tanpa gadget dan tanpa paksaan membuat anak lebih nyaman.
Ubah tampilan makanan agar menarik bagi anak. Misalnya, bentuk nasi menjadi wajah tersenyum, sayuran menjadi bintang, atau buat bekal berwarna-warni. Tampilan menarik bisa menggugah selera anak.
Daripada langsung memberi porsi besar, mulai dengan sedikit demi sedikit. Jika anak merasa mampu menghabiskan makanannya, ia akan lebih percaya diri untuk menambah.
Pastikan anak memiliki jadwal makan tetap: pagi, siang, sore, dan camilan di antara waktu itu. Jadwal yang konsisten membantu tubuh anak beradaptasi dan menumbuhkan rasa lapar alami.
Ajak anak membantu menyiapkan makanan, seperti mencuci sayur atau menyusun bekal. Ketika anak merasa terlibat, mereka cenderung lebih semangat mencicipi hasilnya.
Memaksa anak makan dengan ancaman atau menjanjikan hadiah justru membuat mereka makan karena terpaksa. Lebih baik beri pujian sederhana saat anak mau mencoba makanan baru.
Jika anak benar-benar tidak mau makan lebih dari tiga hari berturut-turut, berat badan menurun drastis, atau menunjukkan tanda-tanda kekurangan gizi seperti mudah lelah dan pucat, segera konsultasikan ke dokter anak atau ahli gizi.
Kadang, anak susah makan bukan karena perilaku, melainkan karena masalah medis seperti infeksi mulut, gangguan pencernaan, atau alergi makanan.
Mengatasi anak susah makan membutuhkan kesabaran dan empati, bukan paksaan. Dengan menciptakan suasana makan yang positif, menyajikan makanan menarik, serta memahami kebutuhan anak, orang tua bisa menumbuhkan kebiasaan makan sehat sejak dini.
Ingat, setiap anak memiliki selera dan ritme makan yang berbeda. Yang terpenting bukan seberapa banyak anak makan hari ini, tetapi bagaimana membangun kebiasaan makan yang menyenangkan dan berkelanjutan untuk masa depan yang sehat.