Kids Care Indonesia – Fenomena memaksa anak untuk berbagi masih sering terjadi di lingkungan keluarga maupun sekolah. Banyak orang tua yang beranggapan bahwa anak yang mau berbagi adalah anak yang baik dan sopan. Padahal, kebiasaan memaksa anak untuk berbagi justru bisa berdampak negatif pada perkembangan emosional mereka. Istilah Stop Paksa Anak Berbagi kini menjadi ajakan penting bagi para orang tua modern agar mengajarkan empati dengan cara yang sehat, tanpa tekanan atau rasa bersalah.
Tren pengasuhan anak yang lebih sadar emosi mulai berkembang di berbagai kota di Indonesia, terutama sejak meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental keluarga pada tahun 2025. Banyak psikolog anak menekankan pentingnya memberikan ruang bagi anak untuk memahami perasaan mereka sendiri sebelum belajar berbagi dengan orang lain.
Menurut psikolog perkembangan anak, memaksa anak untuk berbagi dapat membuat mereka merasa tidak memiliki kendali terhadap barang miliknya sendiri. Akibatnya, anak tidak belajar makna sejati dari berbagi, melainkan hanya memahami bahwa mereka harus memberi karena disuruh.
Gerakan Stop Paksa Anak Berbagi muncul sebagai respons terhadap praktik pengasuhan lama yang menekankan kepatuhan dibandingkan kesadaran.
Kegiatan sosialisasi tentang pengasuhan empatik ini juga mulai marak di berbagai sekolah dan komunitas parenting di Jakarta, Bandung, hingga Surabaya. Mereka menekankan bahwa setiap anak memiliki hak untuk menolak berbagi saat belum siap. Inilah langkah awal agar anak benar-benar memahami arti empati dan penghargaan terhadap hak orang lain.
Menerapkan prinsip Stop Paksa Anak Berbagi bukan berarti mengajarkan anak untuk egois. Sebaliknya, ini membantu anak mengenal perasaan mereka, memahami konsep kepemilikan, dan belajar empati dengan cara alami. Berikut beberapa langkah praktis yang bisa diterapkan orang tua:
Program edukasi Stop Paksa Anak Berbagi yang disosialisasikan oleh berbagai lembaga parenting di Indonesia menunjukkan hasil positif. Anak-anak yang tidak dipaksa berbagi menunjukkan peningkatan dalam empati, kemampuan sosial, serta kontrol diri. Mereka memahami bahwa berbagi bukanlah kehilangan, tetapi bentuk kasih dan kepedulian.
Selain itu, orang tua yang menerapkan pendekatan ini juga mengaku hubungan mereka dengan anak menjadi lebih dekat. Komunikasi berlangsung lebih hangat karena anak merasa dipercaya dan dihargai.
Di sekolah, anak yang dibesarkan dengan pola asuh empatik lebih mudah bekerja sama dan memiliki rasa percaya diri yang lebih tinggi.
Penerapan prinsip Stop Paksa Anak Berbagi sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari — baik di rumah, taman bermain, maupun sekolah. Momen sederhana seperti meminjam mainan, berbagi makanan, atau waktu bermain bersama bisa menjadi kesempatan untuk mengajarkan empati.
Kampanye edukatif ini semakin meluas sejak awal tahun 2025, ketika banyak komunitas parenting di Indonesia mulai mengangkat isu pengasuhan berbasis kesadaran emosional. Media sosial juga berperan besar dalam menyebarkan kesadaran bahwa berbagi bukan sekadar tindakan sosial, tetapi proses pembelajaran emosional bagi anak.
Baca juga: “Amnesia: The Bunker – Bertahan Hidup dari Kegelapan”
Mengajarkan anak untuk berbagi adalah hal yang baik, namun cara penyampaiannya menentukan hasilnya. Dengan menghentikan kebiasaan memaksa, orang tua justru membantu anak memahami arti berbagi yang sesungguhnya — dari hati, bukan dari rasa takut atau tekanan.
Gerakan Stop Paksa Anak Berbagi bukan sekadar tren parenting, tetapi langkah penting menuju generasi yang lebih empatik, mandiri, dan sadar akan perasaan orang lain.
Mari mulai dari rumah: dengarkan anak, hargai pilihan mereka, dan biarkan empati tumbuh secara alami.